Kontroversi Cryptocurrency di Indonesia?

“Perdagangan produk kripto ini telah berlangsung selama beberapa tahun tanpa kepastian hukum, sampai Kementerian Perdagangan akhirnya memutuskan untuk menempatkan produk kripto di bawah yurisdiksi perdagangan komoditi.”

Sebagian besar orang saat ini mungkin pernah mendengar tentang bitcoin atau produk serupa lainnya seperti Litecoin, Dogecoin, Ripple dan banyak lainnya. Produk teknologi berbasis crypto ini sering dikenal dengan cryptocurrency. Meskipun cukup baru, mereka telah menarik perhatian dan perdebatan di beberapa negara.

Banyak orang di seluruh dunia menggunakan produk kripto ini untuk membeli barang, trading, atau investasi. Namun, meskipun telah menjadi viral selama beberapa tahun, pihak berwenang Indonesia hanya mengeluarkan peraturan yang relevan untuk produk ini baru-baru ini. Setelah lama berada di area abu-abu, pengguna produk kripto akhirnya bisa bernapas lega karena mereka sekarang memiliki dasar hukum. Namun, ada suatu hal yang menarik. Produk berbasis kripto di Indonesia dapat dianggap legal maupun ilegal tergantung pada penggunaannya.

Cryptocurrency vs Aset Kripto

Ketika pertama kali diperkenalkan sebagai uang elektronik, produk-produk kripto ini sering disebut sebagai cryptocurrency. Oleh karena itu, kebanyakan orang mungkin akan berpikir bahwa produk ini dapat digunakan sebagai pembayaran untuk membeli barang-barang lainnya. Ini tidak salah, karena ada banyak pedagang di luar negeri yang menerima produk kripto sebagai metode pembayaran, namun otoritas Indonesia memiliki pendapat yang berbeda.

Bank Indonesia (BI) telah menolak cryptocurrency sebagai alat pembayaran legal maupun mata uang di Indonesia. Merujuk pada Undang-Undang tentang Mata Uang, Indonesia hanya mengakui Rupiah (IDR) sebagai metode pembayaran yang sah. Keputusan ini semakin diperkuat dengan Peraturan BI No. 18/40/PBI/2016 tentang Pemrosesan Transaksi Pembayaran dan Peraturan BI No. 19/12/PBI/2017 tentang Penyelenggaraan Teknologi Finansial yang menyatakan bahwa penggunaan mata uang virtual dalam transaksi adalah terlarang. Istilah “mata uang virtual” dalam peraturan BI ini mencakup semua uang digital yang dikeluarkan oleh siapa pun selain BI, seperti Bitcoin, BlackCoin, Dash, Dogecoin dan lainnya.

Namun, walau BI jelas melarang penggunaan produk kripto sebagai mata uang, BI tidak mengatur kemungkinan penggunaan produk kripto lainnya. Meskipun tidak digunakan sebagai mata uang, selama ini orang telah menggunakan produk kripto sebagai komoditas perdagangan, sama seperti forex dan emas. Perdagangan produk kripto ini telah berlangsung selama beberapa tahun tanpa kejelasan hukum, sampai Kementerian Perdagangan akhirnya memutuskan untuk meletakkan produk crypto di bawah yurisdiksi perdagangan komoditas.

Pada bulan September 2018, dengan dikeluarkannya Peraturan Menteri Perdagangan No. 99 Tahun 2018, Kementerian Perdagangan secara resmi menetapkan istilah yang tepat untuk produk kripto. Setiap produk kripto sekarang disebut sebagai aset kripto. Kementerian Perdagangan selanjutnya mengatur bahwa aset kripto tunduk pada peraturan kontrak berjangka dan dengan demikian dapat diperdagangkan dalam bursa berjangka.

Pada bulan Februari 2019, Badan Pengawas Perdagangan Berjangka Komoditi Indonesia (Bappebti) mengeluarkan Peraturan Bappebti No. 5 Tahun 2019 tentang Penerapan Pasar Fisik Aset Kripto, salah satu hal yang menarik adalah aset kripto dianggap sebagai komoditi digital dan dapat diperdagangkan dalam bursa berjangka.

Batasan Perdagangan Aset Kripto di Indonesia

Meskipun menyetujui aset kripto sebagai komoditi yang dapat diperdagangkan, Bappebti berpandangan bahwa aset kripto merupakan komoditi berisiko tinggi, sehingga Bappebti menempatkan sejumlah batasan. Aset kripto yang diperdagangkan di bursa berjangka Indonesia harus memenuhi persyaratan berikut ini:

1. Masuk dalam transaksi bursa aset kripto terbesar di dunia;
2. Memiliki manfaat ekonomi untuk Indonesia;
3. Telah dilakukan penilaian risikonya.

Selain terbatasnya komoditas, pedagang aset kripto juga dikenakan beberapa persyaratan ketat. Pedagang aset kripto harus memiliki sistem perdagangan online yang sesuai dengan standar Bappebti, memiliki modal disetor minimum perusahaan sebesar Rp. 1 triliun, dengan tambahan Rp. 1 triliun lagi jika mereka juga mengembangkan dan mengoperasikan sistem wallet nya sendiri.

Selain itu, peraturan tersebut juga menetapkan bahwa hanya individu yang dapat melakukan perdagangan aset kripto dengan menjadi pelanggan pedagang aset kripto. Ini berarti, badan usaha tidak dapat memperdagangkan aset kripto di bursa berjangka, kecuali jika mereka menjadi pedagang aset kripto.

Penulis: Benedictus Giovanni / Arif Gaffar

Gaffar & Co.
Gaffar & Co. is an Indonesian Boutique Law Firm that focused on commercial law areas includes banking and other financial service.

For further queries and information, contact us:
+62-21 5080 6536 | info@gaffarcolaw.com | www.gaffarcolaw.com

Share on linkedin
LinkedIn